Tuesday, September 1, 2009

SENI DALAM PANDANGAN Al-QUR'AN

(Judul Asli : Seni Dalam Wawasan Al-Qur'an)

Oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.


SENI

Seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Di sisi lain, Al-Quran memperkenalkan agama yang lurus sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia.

 
     Maka, tetapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
     (Allah); (tetaplah atas) fitrah Alah yang telah
     menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
     perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus,
     tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Al-Rum
     [30]: 30)
 

Adalah merupakan satu hal yang mustahil, bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Bukankah Islam adalah agama fitrah? Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya.

Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian. Islam yasti mendukung kesenian selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci itu, dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam.

Tetapi mengapa selama ini ada kesan bahwa Islam menghambat perkembangan seni dan memusuhinya? Jawabannya boleh jadi tersirat dari informasi berikut.

Diriwayatkan bahwa Umar Ibnul Khaththab --khalifah kedua-- pernah berkata, Umat Islam meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatir terjerumus ke dalam haram (riba). Ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia juga dapat menjadi benar jika kalimat transaksi ekonomi diganti dengan kesenian.

Boleh jadi problem yang paling menonjol dalam hubungan dengan seni budaya dan Islam, sekaligus kendala utama kemauannya adalah kekhawatiran tersebut.

Bahasan berikut akan berusaha memaparkan wawasan Al-Quran tentang seni.


KEINDAHAN DALAM KONSEP AL-QURAN

Tidak keliru jika dikatakan bahwa inti dari segala uraian Al-Quran adalah memperkenalkan keesaan Allah Swt. Ini terlihat sejak wahyu pertama Al-Quran, ketika wahyu tersebut memerintahkan untuk membaca dengan nama Tuhan yang diperkenalkannya sebagai Maha Pencipta, Maha Pemurah serta Pengajar.

Dalam rangka memperkenalkan diri-Nya itulah Allah menciptakan alam raya, seperti bunyi satu ungkapan yang dinilai oleh sementara ulama sebagai hadis qudsi,

 
     Aku tadinya sesuatu yang tidak dikenal. Aku ingin
     dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka
     mengenal-Ku.
 

Untuk tujuan memperkenalkan-Nya --disamping tujuan yang lain-- kitab suci Al-Quran mengajak manusia memandang ke seluruh jagat raya, antara lain dari sisi keserasian dan keindahanya.

 
     Tidakkah mereka melihat ke langit yang ada di atas
     mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasi, dan
     langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?
     (QS Qaf [50]: 6)
 

Setelah Al-Quran berbicara tentang aneka tumbuh-tumbuhan dinyatakannya,

 
     Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah
     (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada
     yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan
     Allah) bagi orang-orang yang beriman (QS Al-Anam [61:
     99)
 

Allah Swt. tidak hanya menciptakan 1angit, melainkan juga memeliharanya. Bukan hanya hifzhan, tetapi juga zinatan (hiasan yang indah). Begitu pernyataan Allam dalam surat Ash-Shaffat (37): 6-7 dan Fushshilat (41): 12. Laut pun diciptakan antara lain agar dapat diperoleh darinya bukan sekadar daging segar, tetapi juga hiasan yang memperindah penampilan seseorang.

 
     Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu)
     agar kamu dapat memakan darinya (laut itu) daging
     yang segar (ikan), dan kamu dapat mengeluarkan
     darinya (lautan itu) perhiasan yang kamu pakai, serta
     kamu dapat melihat bahtera yang berlayar padanya ...
     (QS Al-Nah1 [16]: 14) .
 

Gunung-gunung dengan ketegarannya, bintang ketika terbenam, matahari saat naik sepenggalan, malam ketika hening dan masih banyak yang lain, semua diungkapkan oleh A1-Quran. Bahkan pemandangan ternak dinyatakannya:

 
     Kamu memperoleh pandangan yang indah ketika kamu
     membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu
     melepaskannya ke tempat penggembalaan (QS Al-Nah1
     [16]: 6).
 

Ayat terakhir ini melepaskan kendali kepada manusia yang memandangnya untuk menikmati dan melukiskan keindahan itu, sesuai dengan subjektivitas perasaannya. Begitu kurang lebih uraian para mufasir ketika menganalisis redaksi ayat itu.

Ini berarti bahwa seni dapat dicetuskan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau, oleh kelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa diberi batasan ketat kecuali yang digariskan-Nya pada awal uraian surat Al-Nahl itu, yakni

 
     Mahasuci Allah dari segala kekurangan dan Mahatinggi
     dari apa yang mereka persekutukan.
 

Menang, kehidupan dunia tidak akan berakhir kecuali apabila dunia ini telah sempurna keindahannya, dan manusia telah mengenakan semua hiasannya.

 
     Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia ini adalah
     seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit,
     lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu
     tanaman-tanaman di bumi di antaranya ada yang dimakan
     manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi
     telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula)
     perhiasannya, serta pemilik-pemiliknya merasa yakin
     berkuasa atasnya, ketika itu serta merta datang siksa
     Kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan
     tanaman-tanamannya laksana tanaman yang telah
     disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
     Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan
     Kami kepada orang-orang yang berpikir (QS Yunus [10]:
     24).
 

Bumi berhias sedemikian itu sebagai buah keberhasilan manusia memperindahnya. Tentu saja hal tersebut merupakan hasil dorongan naluri manusia yang selalu mendambakan keindahan.

Kembali kepada keindahan alam raya dan peranannya dalam pembuktian keesaan dan kekuasaan Allah, kita dapat berkata bahwa mengabaikan sisi-sisi keindahan yang terdapat di alam raya ini, berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Allah Swt., dan mengekspresikannya dapat merupakan upaya membuktikan kebesaran-Nya, tidak kalah --kalau enggan berkata lebih kuat-- dari upaya membuktikannya dengan akal pikiran. Bukankah seperti tulis Immannuel Kant, dan dikuatkan juga oleh mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar Syaikh Abdul-Halim Mahmud, bahwa Bukti terkuat tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa manusia, bukan akalnya. Kita tidak perlu bertepuk tangan kepada logika yang membuktikan wujud Tuhan, karena dengan logika juga orang membuktikan sebaliknya.

Karena itu pula Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin. bahwa:

 
     Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga
     dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan
     getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap
     penyakit parah yang sulit diobati.
 

Seorang Muslim dituntut untuk berakhlak dengan akhlak Ilahi sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dalam konteks ini, Nabi Saw. bersabda, Berakhlaklah dengan akhlak Allah.

Dalam sabda yang lain beliau menyatakan bahwa

 
     Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyenangi
     keindahan.
 

Bahkan ada hadis Nabi yang memberi kesan bolehnya memperhatikan keindahan diri sampai pada batas bersaing untuk menjadi yang terindah. Seorang sahabat Nabi bernama Malik bin Mararah Ar-Rahawi, pernah bertanya kepada Nabi Saw.,

 
     Sahabat Rasul Malik bin Mararah Ar-Rahawi bertanya
     kepada Nabi Saw., Wahai Rasul, Allah telah
     menganugerahkan kepadaku keindahan seperti yang
     engkau lihat. Aku tidak senang ada seseorang yang
     melebihiku walau dengan sepasang alas kaki atau
     melebihinya, apakah demikian merupakan keangkuhan?
     Nabi menjawab, Tidak! Keangkuhan adalah meremehkan
     hak dan merendahkan orang lain. (HR Ahmad dan Abu
     Dawud).
 

Rasulullah Saw. sendiri memakai pakaian yang indah, bahkan suatu ketika beliau memperoleh hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu naik ke mimbar, namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian turun. Sahabat-sahabatnya demikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya, Nabi Saw. bersabda.

 
     Apakah kalian mengagumi baju ini? Mereka berkata,
     Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih
     indah dari ini. Nabi bersabda: Sesungguhnya
     saputangan Sad bin Muadz di surga jauh lebih indah
     dari yang kalian lihat.
 

Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi beliau tetap menyadari sepenuhnya tentang keindahan surgawi.


APAKAH YANG DISEBUT SENI?

Kalau memang seperti itu pandangan Islam tentang kesenian, maka mengapa warna kesenian Islami tidak tampak dengan jelas pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa atau terdengar adanya semacam pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan kesenian?

Boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara tentang masa Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman, baru berhasil dalam karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya daLam bentuk karya seni. Nah, pada masa Nabi dan sahabat beliau, proses penghayatan nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim lainnya.

Atas dasar inilah kita harus memahami larangan-larangan yang ada, kalau kita menerima adanya larangan penampilan karya seni terlentu. Apalagi seperti dikemukakan di atas bahwa apresiasi Al-Quran terhadap seni sedemikian besar.

Mari kita coba melihat dua macam seni yang seringkali dinyatakan terlarang, dalam Islam,


a. Seni Lukis, Pahat, atau Patung

Al-Quran secara tegas dan dengan bahasa yang sangat jelas berbicara tentang patung pada tiga surat Al-Quran.

1. Dalam surat Al-Anbiya (21): 51-58 diuraikan tentang patung-patung yang disembah oleh ayah Nabi Ibrahim dan kaumnya. Sikap Al-Quran terhadap patung-patung itu, bukan sekadar menolaknya, tetapi merestui penghancurannya.

 
     Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur
     berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari
     patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk
     bertanya) kepadanya (QS Al-Anbiya [21]: 58).
 

Ada satu catatan kecil yang dapat memberikan arti dari sikap Nabi Ibrahim di atas, yaitu bahwa beliau menghancurkan semua berhala kecuali satu yang terbesar. Membiarkan satu di antaranya dibenarkan, karena ketika itu berhala tersebut diharapkan dapat berperan sesuai dengan ajaran tauhid. Melalui berhala itulah Nabi Ibrahim membuktikan kepada mereka bahwa berhala --betapapun besar dan indahhya-- tidak wajar untuk disembah.

 
     Sebenarnya patung yang besar inilah yang melakukannya
     (penghancuran berhala-berhala itu). Maka tanyakanlah
     kepada mereka jika mereka dapat berbicara. Maka
     mereka kembali kepada kesadaran diri mereka, lalu
     mereka berkata, Sesungguhnya kami sekalian adalah
     orang-orang yang menganiaya (diri sendiri) (QS
     Al-Anbiya [21]: 63-64)
 

Sekali lagi Nabi Ibrahim a.s. tidak menghancurkan berhala yang terbesar pada saat berhala itu difungsikan untuk satu tujuan yang benar. Jika demikian, yang dipersoalkan bukan berhalanya, tetapi sikap terhadap berhala, serta peranan yang diharapkan darinya.


2. Dalam surat Saba (34): 12-13 diuraikan tentang nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Sulaiman, yang antara lain adalah,

 
     (Para jin) membuat untuknya (Sulaiman) apa yang
     dikehendakinya seperti gedung-gedung yang tinggi dan
     patung-patung ... (QS Saba [34]: 13).
 

Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa patung-patung itu terbuat dari kaca, marmer, dan tembaga, dan konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi terdahulu. (Baca Tafsirnya menyangkut ayat tersebut).

Di sini, patung-patung tersebut --karena tidak disembah atau diduga akan disembah-- maka keterampilan membuatnya serta pemilikannya dinilai sebagai bagian dari anugerah Ilahi.

3. Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 48-49 dan Al-Maidah (5): 110 diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara lain adalah menciptakan patung berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya, kreasinya itu menjadi burung yang sebenarnya atas izin Allah.

 
     Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk
     seperti burung kemudian aku meniupnya, maka ia
     menjadi seekor burung seizin Allah (QS Ali Imran [3): 49).
 

Di sini, karena kekhawatiran kepada penyembahan berhala atau karena faktor syirik tidak ditemukan, maka Allah SWt membenarkan pembuatan patung burung oleh Nabi Isa as. Dengan demikian, penolakan Al-Quran bukan disebabkan oleh patungnya, melainkan karena kemusyrikan dan penyembahannya.

 
Kaum Nabi Shaleh  terkenal  dengan  keahlian  mereka  memahat, sehingga Allah berfirman,
 
     Ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu
     pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Ad,
     dan memberikan tempat bagimu di bumi, Kamu dirikan
     istana-istana di tanah-tanah yang datar, dan kamu
     pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah, maka
     ingatlah nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu
     merajalela di bumi membuat kerusakan (QS Al-Araf [7]:
     74).
 

Kaum Tsamud amat gandrung melukis dan memahat, serta amat ahli dalam bidang ini sampai-sampai relief-relief yang mereka buat demikian indah bagaikan sesuatu yang hidup, menghiasi gunung-gunung tempat tinggal mereka. Kaum ini enggan beriman, maka kepada mereka disodorkan mukjizat yang sesuai dengan keahliannya itu, yakni keluarnya seekor unta yang benar-benar hidup dari sebuah batu karang. Mereka melihat unta itu makan dan minum (QS Al-Araf [7]: 73 dan QS Al-Syuara [26]: 155-156), bahkan mereka meminum susunya. Ketika itu relief-relief yang mereka lukis tidak berarti sama sekali dibanding dengan unta yang menjadi mukjizat itu. Sayang mereka begitu keras kepala dan kesal sampai mereka tidak mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta itu, sehingga Tuhan pun menjatuhkan palu godam terhadap mereka (Baca QS Al-Syams [91]: 13-15) .

Yang digarisbawahi di sini adalah bahwa pahat-memahat yang mereka tekuni itu merupakan nikmat Allah Swt yang harus disyukuri, dan harus mengantar kepada pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah Swt.

Allah sendiri yang menantang kaum Tsamud dalam bidang keahlian mereka itu, pada hakikatnya merupakan Seniman Agung kalau istilah ini dapat diterima.

Kembali kepada persoalan sikap Islam tentang seni pahat atau patung, maka agaknya dapat dipahami antara lain melalui penjelasan berikut.

Syaikh Muhammad Ath-Thahir bin Asyur ketika menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang patung-patung Nabi Sulaiman menegaskan, bahwa Islam mengharamkan patung karena agama ini sangat tegas dalam memberantas segala bentuk kemusyrikan yang demikian mendarah daging dalam jiwa orang-orang Arab serta orang-orang selain mereka ketika itu. Sebagian besar berhala adalah patung-patung, maka Islam mengharamkannya karena alasan tersebut; bukan karena dalam patung terdapat keburukan, tetapi karena patung itu dijadikan sarana bagi kemusyrikan.

Atas dasar inilah, hendaknya dipahami hadis-hadis yang melarang menggambar atau melukis dan memahat makhluk-makhluk hidup.

Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya. Karena ketika itu ia telah menjadi salah satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad Imarah dalam bukunya Maalim Al-Manhaj Al-Islami yang penerbitannya disponsori oleh Dewan Tertinggi Datwah Islam, Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Mahad Al-Alami lil Fikr Al-Islami (International Institute for Islamic Thought).


b. Seni Suara

Ada tiga ayat yang dijadikan alasan oleh sementara ulama untuk melarang --paling sedikit dalam arti memakruhkan-- nyanyian, yaitu: surat Al-Isra (17): 64, Al-Najm (53): 59-61, dan Luqman (31): 6.

Surat Al-Isra dimaksud adalah perintah Allah kepada setan:

 
     Hasunglah siapa yang kamu sanggup (hasung) diantara
     mereka (manusia) dengan suaramu, dan kerahkanlah
     terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang
     beralas kaki dan berserikatlah dengan mereka pada
     harta dan anak-anak, dan beri janjilah mereka. Tidak
     ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka kecuali
     tipuan belaka.
 

Kata suaramu dalam ayat di atas menurut sementara ulama adalah nyanyian. Tetapi benarkah demikian? Membatasi arti suara dengan nyanyian merupakan pembatasan yang tidak berdasar, dan kalaupun itu diartikan nyanylan, maka nyanyian yang dimaksud adalah yang didendangkan oleh setan, sebagaimana bunyi ayat ini. Dan suatu ketika ada nyanyian yang dilagukan oleh bukan setan, maka belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat ini.

Surat Al-Najm yang dimaksud adalah:

 
     Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini
     (adanya Kiamat)? Kamu menertawakan dan tidak
     menangis? Sedang kamu samidun (QS Al-Najm [53]:
     59-61).
 

Kata samidun diartikan oleh yang melarang seni suara dengan arti dalam keadaan menyanyi-nyanyi. Arti ini tidak disepakati oleh ulama, karena kata tersebut walaupun digunakan oleh suku Himyar (salah satu suku bangsa Arab) dalam arti demikian. Tetapi dalam kamus-kamus bahasa seperti --Mujam Maqayis Al-Lughah-- dijelaskan bahwa akar kata samidun adalah samada yang maknanya berkisar pada berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, atau secara majazi dapat diartikan serius atau tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya.

Dengan demikian, kata samidun dalam ayat tersebut dapat diartikan lengah karena seorang yang lengah biasanya serius dalam menghadapi sesuatu dan tidak mengindahkan yang lain

Dalam Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI kata samidun diartikan seperti keterangan di atas, yakni lengah. Kalaupun kata di atas dibatasi dalam arti nyanyian maka nyanyian yang dikecam di sini adalah yang dilakukan oleh orang-orang menertawakan adanya hari kiamat, dan atau me1engahkan mereka (1ari peristiwa yang seharusnya memilukan mereka.

Ayat ketiga yang dijadikan argumentasi keharaman menyanyi atau mendengarkannya adalah surat Luqman ayat 6

 
     Di antara manusia ada yang mempergunakan lahwa
     al-hadits (kata-kata yang tidak berguna) untuk
     menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
     pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu
     olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh siksa yang
     menghinakan.
 

Mereka mengartikan kata-kata yang tidak berguna (lahwa al-hadits) sebagai nyanyian.

Pendapat ini jelas tidak beralasan untuk menolak seni-suara, bukan saja karena lahwa al-hadits tidak berarti nyanyian, tetapi juga karena seandainya kalimat tersebut diartikan nyanyian, yang dikecam di sini adalah bila kata-kata yang tidak berguna itu menjadi alat untuk menyesatkan manusia. Jadi masalahnya bukan terletak pada nyanyiannya, melainkan pada dampak yang diakibatkanya.

Sejarah kehidupan Rasulullah Saw. membuktikan bahwa beliau tidak melarang nyanyian yang tidak mengantar kepada kemaksiatan. Bukankah sangat populer di kalangan umat Islam, lagu-lagu yang dinyanylkan oleh kaum Anshar di Madinah dalam menyambut Rasulullah Saw.?

 
     Thalaa al-badru alaina. Min tsaniyat al-wadai
     Wajabasy syukru alaina. Ma daa lillahi dai
     Ayyuha al-mabutsu fina. Jita bil amril muthai
 

Memang benar, apabila nyanyian mengandung kata-kata yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, maka ia harus ditolak. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa dua orang wanita mendendangkan lagu yang isinya mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam peperangan Badr sambil menabuh gendang. Di antaranya syairnya adalah:

 
     Dan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan
     terjadi besok
 

Mendengar ini Nabi Saw menegur mereka sambil bersabda:

 
     Adapun yang demikian, maka jangan kalian ucapkan.
     Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang
     terjadi esok kecuali Allah (Diriwayatkan oleh Ahmad).
 

Al-Quran sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih kata-kata yang digunakannya setelah terlebih dahulu memperhatikan kaitan antara kandungan kata dan pesan yang ingin disampaikannya.

Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan kandungan Al-Quran, terlebih dahulu ia akan terpukau oleh beberapa hal yang berkaitan dengan susunan kata-kata dan kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan langgamnya.

Walaupun ayat-ayat Al-Quran ditegaskan oleh Allah bukan syair, atau puisi, namun ia terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Ini disebabkan karena huruf dari kata-kata yang dipilihnya melahirkan keserasian bunyi, dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayatayatnya.

Bacalah misalnya surat Asy-Syams, atau Adh-Dhuha atau Al-Lahab dan surat-surat lainnya. Atau baca misalnya surat An-Naziat ayat 15-26.

Yang ingin digarisbawahi di sini adalah nada dan irama yang unik itu. Ini berarti bahwa Allah sendiri berfirman dengan menyampaikan kalimat-kalimat yang memiliki irama dan nada. Nada dan irama itu tidak lain dari apa yang kemudian diistilahkan oleh sementara ilmuwan Al-Quran dengan Musiqa Al-Quran (musik Al-Quran). Ini belum lagi jika ditinjau dari segi ilmu tajwid yang mengatur antara lain panjang pendeknya nada bacaan, bahkan belum lagi dan lagu-lagu yang diperkenalkan oleh ulama-ulama Al-Quran. Imam Bukhari, dan Abu Daud meriwayatkan sabda Nabi Saw.:

 
     Perindahlah Al-Quran dengan suara kamu.
 

Bukankah semua ini menunjukkan bahwa menyanyikan Al-Quran tidak terlarang, dan karena itu menyanyi secara umum pun tidak terlarang kecuali kalau nyanyian tersebut tidak sejalan dengan tuntunan Islam.

SENI ISLAM

 

Apakah seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? Ataukah harus berbicara tentang ajaran Islam? Dengan tegas jawabannva adalah: Tidak. Dalam konteks ini, Muhammad Quthb menulis.

 
     Kesenian Islam tidak harus berbicara tentang Islam.
     Ia tidak harus berupa nasihat langsung, atau anjuran
     berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak
     tentang akidah. 'Seni yang Islami adalah seni yang
     dapat menggambarkar wujud ini, dengan bahasa yang
     indah serta sesuai dengan cetusan fitrah. Seni Islam
     adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi
     pandangan Islam tentang alam, hidup, dan manusia yang
     mengantar menuju pertemuan sempurna antara kebenaran
     dan keindahan. Boleh jadi seseorang menggambarkan
     Muhammad Saw. dengan sangat indah sebagai tokoh
     genius yang memiliki berbagai keistimewaan.
     Penggambaran semacam ini belum menjadikan karya seni
     yang ditampilkannya adalah seni yang Islami, karena
     ketika itu ia baru menampilkan beliau sebagai
     manusia, tanpa menggambarkan hubungan beliau dengan
     hakikat mutlak yaitu Allah Swt. Penggambaran itu
     tidak sejalan dengan pandangan Islam menyangkut
     manusia. (Baca selengkapnya Manhaj Al-Tarbiyah
     Al-Islamiyah. hlm. 119).
 

Anda boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Anda boleh menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat di mana Anda berada. Anda boleh memadukannya dengan apa saja, boleh berimajinasi karena lapangan seni Islami adalah semua wujud, tetapi sedikit catatan, yaitu jangan sampai seni yang Anda tampilkan bertentangan dengan fitrah atau pandangan Islam tentang wujud itu sendiri. Jangan sampai, misalnya pemaparan tentang manusia hanya terbatas pada jasmaninya semata atau yang ditonjolkan hanya manusia dalam aspek debu tanahnya, tidak disertai dengan unsur roh Ilahi yang menjadikannya sebagai manusia.

Jika catatan ini diindahkan, maka pada saat itu pula, seni telah mengayunkan langkah untuk berfungsi sebagai sarana dakwah Islamiyah.

Islam, melalui sumber utamanya Al-Quran, bahkan melukiskan dengan sangat indah, kelemahan-kelemahan manusia; gejolak nafsu berahi pun ditampilkannya, Dan dirayunya pemuda yang ada di rumahnya? ditutupnya semua pintu amat rapat. Sambil berkata Inilah daku. Sesunguhnya dia telah bermaksud melakukan itu dan pemuda itu pun bermaksud ... Begitu sekelumit dari sisi kelemahan manusia yang diabadikan oleh Al-Quran dalam kisah Yusuf (QS 12: 23-24). Tetapi Al-Quran tidak larut dalam melukiskannya --karena ini dapat menghanyutkan, tetapi juga dia tidak berhenti sampai di sana. Karena itu baru aspek debu tanah manusia, kisahnya dilanjutkan dengan menggambarkan kesadaran para pelaku, sehingga pada akhirnya bertemu debu tanah dan ruh Ilahi itu pada sosok kedua hamba Allah itu.

Allah Swt. meyakinkan manusia tentang ajarannya dengan menyentuh seluruh totalitas manusia, termasuk menyentuh hati mereka melalui seni yang ditampilkan Al-Quran, antara lain melalui kisah-kisah nyata atau simbolik yang dipadu oleh imajinasi: melalui gambaran-gambaran konkret dari gagasan abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai puncaknya. Dapat dipastikan bahwa Al-Quran menggunakan seni untuk dakwah, dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, kita belum memanfaatkan secara maksimal apalagi mengembangkan apa yang dicontohkan Al-Quran itu.

Kalau Al-Quran menggambarkan dalam bahasa lisan sikap dan gejolak hati manusia, maka tentu tidak ada salahnya jika sikap dan gejolak hati itu digambarkan dalam bentuk bahasa gerak dan mimik, bersama dengan bahasa lisan. Itulah salah satu contoh pengembangan, karena menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk bukan berarti kita harus menirunya dalam segala hal, tetapi dalam bidang seni misalnya, ia berarti menghayati jiwa bimbingan dan nafas penampilannya, kemudian setelah itu mempersilakan setiap seniman untuk menerjemahkan jiwa dan nafas tersebut dalam kreasi seninya.

Al-Quran misalnya menjadikan kisah sebagai salah satu sarana pendidikan yang sejalan dengan pandangannya tentang alam, manusia, dan kehidupan. Maka pada saat seseorang menggunakan kisah sebagai sarana pendidikan seni dan hiburan dengan tujuan memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia, menggambarkan akibat baik atau buruk dan satu pengamalan, maka pada saat itu, seni yang ditampilkannya adalah seni yang bernafaskan Islam, walaupun di celah-celah kisahnya dilukiskan kelemahan manusia dalam batas dan penampilan yang tidak mendorong kejatuhannya.

Al-Quran dan sunnah misalnya melukiskan alam dengan begitu indah, berdialog, dan bersambung rasa dengan manusia. Dan pada saat kita menikmati suatu lukisan yang hidup, maka kisah itu telah memerankan pandangan Islam tentang alam, tidak jauh berbeda dengan ungkapan Rasulullah Saw. ketika melukiskannya dengan bahasa lisan

 
     Gunung ini (Uhud) mencintai kita dan kita pun
     mencintainya
 

Memang Al-Quran, demikian juga sunnah, sangat memperhatikan sisi hidup pada penggambaran yang diberikannya. Perhatikan bagaimana Al-Quran melukiskan tanah yang gersang sebagai tanah yang mati, dan tanah vang subur sebagai tanah yang hidup (QS Al-Baqarah [2]: 164). Bahkan dengarkan bagaimana Al-Quran melukiskan alam raya ini bagai sesuatu yang hidup dan mampu berdialog.

 
     Kemudian Allah menuju kepada penciptaan langit, dan
     langit (ketika itu) masih merupakan asap, lalu Dia
     berkata kepadanya dan kepada bumi, Datanglah kamu
     berdua menurut perintah-Ku suka atau tidak suka!
     Keduanya menjawab, Kami datang dengan suka hati (QS
     Al-Fushshilat [41]: 11).
 

Bahkan segala sesuatu hidup bertasbih kepada Allah:

 
     Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
     dalamnya bertasbih kepada-Nya (Allah). Tiada sesuatu
     pun melainkan bertasbih. dengan memuji-Nya, tetapi
     kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
     Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun. Lagi Maha
     Pengampun (QS Al-Isra[17]: 44).
 

Tentu penggambaran alam raya ini sebagai sesuatu yang hidup, bukan sekadar bertujuan seni, tetapi untuk mengingatkan kepada manusia bahwa alam raya adalah sesuatu yang hidup dan memiliki kepribadian. Sehingga manusia perlu menjalin hubungan persahabatan dengannya, atau paling tidak alam raya perlu dipelihara, dijaga kesinambungannya serta dilimpahkan kepadanya rahmat dan kasih sayang.


SENI DAN BUDAYA ASING

Islam dapat menerima semua hasil karya manusia selama sejalan dengan pandangan Islam menyangkut wujud alam raya ini. Namun demikian wajar dipertanyakan bagaimana sikap satu masyarakat dengan kreasi seninya yang tidak sejalan dengsan budaya masyarakatnya?

Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa Al-Quran memerintahkan kaum Muslim untuk menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan makruf dan mencegah perbuatan munkar.

Makruf merupakan budaya masyarakat sejalan dengan nilai-nilai agama, sedangkan munkar adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan budaya masyarakat.

Dari sini, setiap Muslim hendaknya memelihara nilai-nilai budaya yang makruf dan sejalan dengan ajaran agama, dan ini akan mengantarkan mereka untuk memelihara hasil seni budaya setiap masyarakat. Seandainya pengaruh --apalagi yang negatif-- dapat merusak adat-istiadat serta kreasi seni dari satu masyarakat, maka kaum Muslim di daerah itu harus tampil mempertahankan makruf yang diakui oleh masyarakatnya, serta membendung setiap usaha --dari mana pun datangnya-- yang dapat merongrong makruf tersebut. Bukankah Al-Quran memerintahkan untuk menegakkan makruf?!

Demikian, sekelumit yang dapat dikemukakan tentang seni dalam wawasan Al-Quran. Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Quran sangat menghargai segala kreasi manusia, termasuk kreasi manusia yang lahir dari penghayatan rasa manusia terhadap seluruh wujud ini, selama kreasi tersebut sejalan dengan fitrah kesucian jiwa manusia.

 
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
 
Sumber : http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Seni1.html
                http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Seni2.html

No comments:

Post a Comment

Silakan berikan komenter,kritik, saran, dan usul yang bersifat membangun (tidak mengandung unsur negatif dan SARA)